Home > Hikmah
Musibah dan Hikayat Wajah Perempuan Bercahaya
Dalam kitab Irsyadul Ibad, halaman 31, terdapat sebuah hikayat menarik tentang sabar dan musibah. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Yafi‘i dari Abu al-Hasan as-Sarraj. As-Sarraj termasuk al-Imam al-Muhaddis, salah seorang perawi dan penghafal ribuan hadits, dan dikenal oleh Imam al-Hakim, sebagai seorang yang banyak melakukan ijtihad dan tekun beribadah.
As-Sarraj berkisah, suatu ketika dia pernah berhaji di Masjidil Haram. Saat bertawaf di Ka'bah, as-Sarraj bertemu dengan perempuan yang bersinar paras wajahnya. (Hingga refleks), as-Sarraj berkata,
"Demi Allah, sungguh tak pernah kujumpai seumur hidupku hingga saat ini, seorang perempuan yang paras dan kecantikannya menyamai perempuan ini. Pasti ia sedikit sekali murung dan bersedih (qillat al-hamm wa al-hazn).
Tidak disangka, perempuan tersebut mendengar ucapan as-Sarraj. Lalu perempuan itu berkata, "Bagaimana engkau mengatakan itu, duhai Kisanak? Sungguh, diriku terjerat dengan kesedihan, hatiku dipenuhi kepedihan dan keprihatinan. Tidak seorang pun yang memiliki kesedihan di dunia ini yang menyamai kesedihanku.”
As-Sarraj berkata: "Bagaimana hal itu terjadi?”
Aku memiliki suami, yang sedang menyembelih kambing saat Idul Adha. Dua anak kecil kami tengah bermain, sementara diriku masih menyusui anak kami yang bayi. Saat aku hendak mempersiapkan makanan, kedua anak yang bermain tadi menirukan sang ayah yang tengah menyembelih kambing. Nahas, permainan tiruan itu menggunakan pisau yang tajam hingga sang adik mati terkapar dengan leher berlumuran darah. Sang kakak pun berlari ketakutan, menuju pegunungan. Sang ayah pergi mencari sang kakak di pegunungan, hingga kuketahui bahwa sang kakak meninggal karena diterkam serigala, sementara suami saya meninggal karena kehausan.
Di tengah kalut dalam kesedihan, aku meletakkan si bayi, dan tanpa sepengetahuanku si bayi merangkak di dapur, hendak meraih sebuah periuk yang tengah dipanasi, berisi air mendidih. Si bayi meraih kuali, hingga air mendidih tumpah di tubuh bayi. Dagingnya melepuh, hingga tampak sebagian tulang belulangnya. Bayiku pun meninggal dunia. Aku bersedih.
Peristiwa ini, juga sampai kepada anak perempuanku yang sudah menikah. Setelah mendapati kabar penuh duka lara tersebut, sang anak perempuan itu tertelengkup ke tanah, di samping suaminya, dan ternyata hal itu menjadi ajal pula baginya. Masa itu telah membuatku menjadi seorang diri, menyendiri, dan sendirian (fa afradani al-dahr), dari mereka, dari suamiku, dan dari keempat anakku.
As-Sarraj yang sedari tadi mendengarkan dengan khidmah, lalu menimpali "Bagaimana kamu bisa bersabar atas musibah yang besar ini?".
Perempuan itu menjawab. Tidak ada yang bisa membedakan sikap sabar (al-shabr) dan mengeluh (al-jaz‘), kecuali dia telah menemukan sisi dan jalan pembeda antara keduanya. Kesabaran, dengan kebagusan yang ditampakkan pantas mendapatkan pahala yang terpuji nantinya. Sementara keluh kesah semata, tak mendapatkan pahala dan tak mendapatkan ganti rugi apa pun.
Kisah musibah perempuan dan dialognya dengan as-Sarraj tersebut mengingatkan kita atas pesan Rasulullah pada seorang utusan yang membawa kabar mengenai kematian anak dari putri Rasulullah. "Bersabarlah, dan berharaplah ada pahala atas peristiwa itu ( fal tashbir, wal tahtasib) (HR al-Bukhari No.6602, Muslim No.923).
Hadits ini juga menjadi hadits pembuka dalam tema tentang kesabaran, di kitab Irsyadul Ibad karya Zainuddin al-Malibari ini. Kesabaran perlu dikuatkan dalam hati, sembari berharap adanya pahala atas penyebab kesedihan yang menerpa, juga mengukuhkan ketabahan dan terus menampakkan kebaikan-kebaikan secara nyata dalam diri, wajah, dan perbuatan.